Senin, 30 November 2015

Komunikasi dan kedewasaan politik di bolmong raya

Sedikit merefleksi komunikasi budaya politik di Bolmong raya, yang konon disebut adalah rimba politik cemen.Di tanggal 9 desember ini  menjadi hari yang “panas” untuk tanah totabuan, karena ada 2 daerah (Boltim&Bolsel)  yang akan melaksanakan pesta demokrasi  pemilihan bupati dan wakil bupati periode 2015-2020. Dengan melihat media cetak,media online  dan menulusuri jalan mulai dari moyongkota – paret, pinolosian sampai dengan lion. Aroma politik makin terasa panas. Dimana para kandidat yang akan memperebutkan kursi kekuasaan, sudah mulai memperlihatkan slogan pesan politik dalam bentuk baliho, baik dengan kata-kata  dan pakaian- pakaian yang berbau propaganda.
Dengan melihat dengan pengalaman yang sebelumnya , mulai dari pemilhan walikota kotamobagu, dan pileg. Sudah membuktikan bahwa kepopuleran  kandidat  menjadi sangat ampuh untuk menaikan elektabilitas untuk terpilih sebagai pemenang.maka tidak heran, pada setiap musim demokrasi terlihat jelas di sudut-sudut jalan raya berdiri “pohon baliho”  dan itu juga terjadi ditataran media cetak dan elektronik profil kandidat menjadi hiasan iklan propaganda.
Dalam realitas sudah cukup membuktikan bahwa Iklan politik menjadi media untuk membentuk citra (image). Dengan model politik seperti itu akan makin menujukan tingginya biaya politik dalam pemilukada, dan hal tersebut telah membuktikan bahwa yang bisa ikut menjadi peserta pesta demokrasi hanyalah orang yang memiliki modal  yang tidak sedikit. Dengan informasi yang saya dapat bahwa biaya yang harus disediakan oleh kandidat pemilukada dalam tingkat kabupaten itu mulai dari Rp. 5-10 miliar.Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa kandidat yang akan maju dalam pemilukada mempunyai sponsor ( broker politic)  yang membiayai semua kebutuhan politiknya untuk meraih kekuasaan.
Dengan adanya komersialisasi dengan kursi kekuasaan dalam pemilukada akan menimbulkan politik balas budi. Karena siapa saja yang akan terpilih menjadi Bupati dan wakil bupati pasti akan menimbulkan politik balas budi, dan kebiasaan seperti ini pasti akan menimbulkan terganggunya peneggakan roda pemerintahan yang bersih dan berwibawa, karena tender-tender proyek yang akan  pasti hanya akan jatuh kepada parah brocker politik dalam pemilukada. Dan politik balas budi pasti tidak akan jauh dari aroma Kolusi dan korupsi. Mungkin harapan saya kepada masyarakat agar tidak lagi tergoda dengan propaganda yang melalui janji-janji politik dari para eliet politik. Mungkin fakta sudah membuktikan ( ini bukan bahasa media) ada beberapa bupati dan walikota yang terpilih, menggunakan janji-janji politik sebagai “candu politik” dan membius para pemilih.  Karena janji politik tidak diharamkan dalam pesta demokrasi. Selagi janji itu ditepati saat tampil sebagai penguasa. Sebenarnya tujuan pemilukada bukanlah untuk meraih kekuasaan semata. Akan tetapi harus menjadi penangkap aspirasi rakyat dan mengimplematasikannya untuk kesejatraan rakyat. Karena kekuasaan yang diambil dengan cara demokrasi bukan untuk meraih birahi penguasa.
Yang perlu dicermati dalam pemilukada adalah rawan konflik yang biasa terjadi, mulai dari masalah daftar pemilih tetap(DPT),gesekan antar pendukung kandidat,mobilisasi suara pendukung,kampanye pendukung bahkan masalah ijazah palsu.itu berarti sistem demokrasi kita dalam memilih pemimpin yang ideal akan terkendalan dengan masalah DPT ataupun masalah administratif.
Dan banyak fenomena yang terjadi dalam pmilukada ataupun pileg yang ada di Bolmong raya.bahwa  para kandidat tidak bisa mengakui kemenangan dan kekalahan secara elegan. Maka dari itu kedewasaan politik harus diterapkan  di di Bolaang mngondow raya. Jadi saran saya kepada eliet politik di bolmong raya, terutama yang ikut dalam pesta demokrasi pada 9 desember nanti ,agar tidak hanya bisa menerima kemenagan, mereka harus siap menerima kekalahan. Karena budaya demokrasi itu  ada pada kematangan politik yang siap menerima semua apa yang terjadi di realitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar